PENGERTIAN ISTI'ARAH DAN MACAM-MACAMNYA

اَلإِْسْتِعَارَةُ 
Isti’arah 

Oleh: Lilis Andarwati

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 

1. Pengertian Isti’arah 

Secara bahasa Isti’arah bermakna ‘meminjam’, yakni berasal dari kata bahasa Arab اِسْتِعَارَ- يَسْتَعِيْرُ – اِسْتِعَارَةُ Yang berarti meminjamkan suatu kata untuk mengungkapkan makna. 

Dan secara istilah pengertian Isti’arah adalah:

 هي استعمال اللفظ في غير ما وضع له لعلاقة (المشبه) بين المعنى المنقول عنه والمعنى المستعمل فيه ، مع (قرينة) صارفة عن ارادة المعنى الأصل (والإستعارة) ليست الا (تشبيها) مختصرا ، ولكنها أبلغ منه 

Penggunaan kata-kata bukan dalam peletakan (المشبه) antara pengertian sebenarnya dan yang digunakan didalamnya, yang disertai (Qorinah/indikator/tanda) yang menghalangi digunakannya pengertian asli bukan pengertian pinjaman, kecuali yang menyerupai, namun sudah balligh (mengandung pengertian/pemahaman). 

Isti’arah terbentuk dari Tasybih. Akan tetapi dalam Isti’arah hanya disebutkan salah satu rukun tasybih, terkadang disebut musyabbah saja atau disebutkan musyabbah bih-nya saja. Tidak bisa disebutkan keduanya. 

Dalam Isti’arah tidak terdapat alat tasybih dan wajh syibih. Harus ada qorinah yang menghalangi diberikannya makna asli. Tasybih bisa dibuat menjadi Isti’arah dan sebaliknya. Contoh:

1.  التشبيه: سَمِعْتُ عالماً كَالْبَحْرِ يَعِظُ النَّاسَ فِي الْمَسْجِدِ كِيَاهِيْ الحَاج أَدِيْب زَمْرَانِ، وَمُطْرَبًا يُحَاكِيْ الْبُلْبُلُ فِي التِّلْفَازِ، وَرَأَيْتُ طِفْلَةً تَسِيْرُ فِيْ الْحَدِيْقَةِ كَالْوَرْدَةِ نَضَا
2.  الإستعارة: سَمِعْتُ بحرا يَعِظُ النَّاسَ في المسجد الحرام، وبلبل يطربهم فِي التِّلْفَازِ، وَرَأَيْتُ وردةً تَسِيْرُ فِيْ الْحَدِيْقَةِ نَضَارَةً. 

Pembahasan: 

Perhatikan kalimat-kalimat pada No. 1 diatas, ada beberapa hal yang diserupakan dengan hal yang lain. 

Pertama;

 سَمِعْتُ عالماً كَالْبَحْرِ يَعِظُ النَّاسَ فِي الْمَسْجِدِ كِيَاهِيْ الحَاج أَدِيْب زَمْرَانِ 

Orang ‘alim diserupakan seperti lautan dalam hal melimpah ruahnya. 

Kedua;

وَمُطْرَبًا يُحَاكِيْ الْبُلْبُلُ فِي التِّلْفَازِ 

Penyanyi diserupakan seperti burung bulbul dalam keindahan suaranya 

Ketiga; 

وَرَأَيْتُ طِفْلَةً تَسِيْرُ فِيْ الْحَدِيْقَةِ كَالْوَرْدَةِ نَضَارَةً. 

Anak kecil dibandingkan dengan bunga mawar dalam hal keelokannya.

Kemudian Perhatikan kalimat-kalimat pada No. 2, disana tertulis kalimat yang mengandung gaya bahasa perbandingan (Tasybih), akan tetapi dalam kalimat tersebut tidak disebutkan musyabbah, adat tasybih dan wajhu syibh. Hanya disebutkan musyabbah bih saja. 

Pertama; 

سَمِعْتُ بحرا يَعِظُ النَّاسَ في المسجد الحرام 

Penggunaan kata AL-Bahru (laut) yang ditujukan kepada orang Alim yang banyak ilmunya. Makna ini adalah makna majazi/khayyali/imajinasi bukan makna hakiki (makna sebenarnya adalah laut=air yang melimpah, berombak pasang surut). 

Kedua; 

وبلبل يطربهم فِي التِّلْفَازِ 

Penggunaan kata Bulbul di kalimat tersebut karena ada sisi kesamaan antara penyanyi dan burung bulbul didalam keindahan suaranya. Bulbul disini bukan makna yang hakiki (yang bermakna:burung yang mempunyai suara indah). Qorinah yang menghalangi penggunaan makna yang asli adalah kalimat يطربهم فِي التِّلْفَازِ= menghibur mereka/dengan menyanyi di TV. 

Ketiga;

وَرَأَيْتُ وردةً تَسِيْرُ فِيْ الْحَدِيْقَةِ نَضَارَةً 

Perhatikan penggunaan kata وردةً diserupakan dengan طِفْلَةً = anak kecil yang cantik dalam hal keindahannya. Ini bukanlah makna yang asli (وردةً = tumbuhan yang berwarna indah, berbau wangi). Qorinah yang menghalangi diberikannya makna asli adalah تَسِيْرُ فِيْ الْحَدِيْقَةِ = berjalan (di taman/kebun) adalah salah satu sifat anak kecil, bukan sifat وردةً.

2. Rukun-rukun Isti’arah 

Perhatikan dulu contoh sederhana ini; 

 سَمِعْتُ بحرا في المسجد 

Makna Hakiki: saya mendengar ada lautan di Masjid 

Makna majazi: apakah benar di Masjid terdapat lautan tentunya tidak, maksudnya adalah orang yang mulia keilmuannya رَجُلٌ كَرِيْمٌ yang diserupakan seperti lautan. بَحْرًا termasuk الْـمُشَبَّه بِه|مُسْتَعَارُ مِنْهُ , رجل كريم sebagaiمُسْتَعَارْ لَهْ|الْـمُشَبَّه 

Jadi rukun-rukun Isti’arah ada 3 yaitu: 

1. مُسْتَعَارْ لَهْ yaitu الْـمُشَبَّه 

2. مُسْتَعَارُ مِنْهُ yaitu الْـمُشَبَّه بِه 

3. مُسْتَعَار yaitu lafadh yang dipinjam اللفظ المنقول 

No. 1 dan 2 merupakan 2 rukun Isti’arah yang sangat penting. 

3. Jenis-jenis Isti'arah

Dalam kajian ilmu balaghah cabang kajian ilmu al bayan, Isti’arah dibagi 2: 

1. الإِسْتِعَارَةُ التَّصْرِيـْحِيَّةُ (dalam Bahasa Indonesia disebut Majas Metafora=perumpamaan yang memakai analogi atau perumpamaan terhadap dua hal yang berbeda)

 الإِسْتِعَارَةُ التَّصْرِيـْحِيَّةُ هِيَ مَا خُذِفَ مِنْهَا الْـمُشَبَّه وَصُرَّحَ فِيْهَا الـمُشَبَّهُ بِه

 

Yaitu sesuatu yang dibuang الْـمُشَبَّه nya dan dijelaskan lafadz itu di الـمُشَبَّهًُ بِه misalnya: 

 اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ 

Artinya: “ Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS.Al-BAqarah: 257) 

Perhatikan kalimat yang bergaris bawah di atas, dua kata (النُّوْرِ - الظُّلُمٰتِ) digunakan bukan untuk makna aslinya, peminjaman kata الظُّلُمٰتِ (kegelapan) untuk makna kekafiran atau kesesatan. Sedangkan kata النُّوْرِ (cahaya) bermakna iman atau hidayah. Tidak masuk akal apabila seandainya dimaknai “Alloh mengeluarkan mereka dari kegelapan malam menuju cahaya di pagi hari”. 

Penyerupaan اَلْكُفْر dengan الظُّلُمٰتِ karena ada hubungan keserupaan keduanya didalam kesesatan, tidak adanya petunjuk, samarnya kebenaran, dan terhalangnya penglihatan. Kemudian dipinjam lafal 

الـمُشَبَّهُ بِه (الظُّلُمٰتِ) untuk الـمُشَبَّهُ (اَلْكُفْرُ) dengan alasan اَلْكُفْر jenis dari kegelapan, kemudian الـمُشَبَّهُ (اَلْكُفْرُ) dibuang hanya tinggal الـمُشَبَّهُ بِه (الظُّلُمٰتِ) 

Kemudian iman diserupakan dengan cahaya karena ada persamaan antara keduanya didalam petunjuk, sampainya kepada kebaikan dan kemudahan melihat kepada kebenaran. Dipinjamlah lafadz الـمُشَبَّهُ بِه ) النُّوْرِ) untuk dijadikan الـمُشَبَّهُ (الْإيـمان), الـمُشَبَّهُ dibuang, karena sudah tidak dibutuhkan, dengan dihadirkan الـمُشَبَّهُ بِه sebagai penggantinya disertai Qarinah. 

Perhatikan proses Isti’arah-nya:

 من اَلْكُفْر كالظلماتِ في الإِضْلَال،  

 الـمُشَبَّهُ    الـمُشَبَّهُ بِه   

الي الْإيـمان كالنورِ فِي الهداية

الـمُشَبَّهُ   الـمُشَبَّهُ بِه    

2. الإِسْتِعَارَةُ الْـمَكْنِيَّةُ (dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Majas Personifikasi=majas yang mengibaratkan sifat manusia ke dalam benda-benda diluar manusia atau majas yang menyerupakan benda seperti manusia)

 الإِسْتِعَارَةُ الْـمَكْنِيَّةُ هِيَ مَا خُذِفَ مِنْهَا الـمُشَبَّهُ بِه وَرُمِزَ إِلَيْهِ بِشَيْءٍ مِنْ لَوَازِمِهِ 

Yaitu sesuatu yang dibuang الـمُشَبَّهُ بِه –nya dan menggambarkannya dengan sesuatu dari sifat yang melekat pada sesuatu tersebut. 

Misalnya:

 وَالَّيلِ اِذَا يَسرِ‌ۚ 

Artinya: “dan malam bila berlalu”. (QS. Al-Fajr: 4) 

Disini ada peminjaman kata يَسرِ‌ berlalu untuk kata الَّيلِ malam. Malam diberikan sifat layaknya manusia ‘berlalu’.

 وَالشَّمسُ تَجرِى لِمُستَقَرٍّ لَّهَا ‌ؕ ذٰلِكَ تَقدِيرُ العَزِيزِ

 

Artinya: “dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui”. (QS. Yaasin: 38)

Begitu juga الشَّمسُ matahari diberikan sifat layaknya manusia yaitu berjalan تَجرِى 

وَالصُّبحِ اِذَا تَنَفَّسَ 

Artinya: “dan demi subuh apabila fajarnya mulai bernafas (menyingsing)”. (QS. At Takwiir: 18) 

Dan الصُّبحِ subuh juga diberikan sifat seperti manusia yaitu تَنَفَّسَ bernafas.

Sekian terima kasih, sedikit penjelasan dari saya. Mohon maaf atas segala khilaf. Mudah-mudahan Alloh memberi pemahaman kepada kita dan kemanfaatan ilmu yang sudah kita pelajari. Wa billahi taufiq wal hidayah warridlo wal ‘inaayah.

 والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته   

Rujukan:

Al-Qur’an Al-Kariim 

Buku pedoman Bahasa Arab Peminatan kelas XII       untuk program       keagamaan, KMA No. 183-184 Tahun 2019 

Dr. Abdul Aziz Atiq, Ilmu Al Bayan, Bairut: Daru An-Nahdlatu   Al-‘Arabiyah, 1985 H 

Ali Al-Jarm, Mustofa Amiin, Al-Balaghah Al-Waadlihah, Daar Al-Ma’arif 

Sayyid Ahmad Al-Hasyimii, Jawahir Al-Balaghah, Bairut: Al-Maktabah     Al-‘Ashriyyah